SEKILAS TENTANG PERATURAN SOLAS DAN IMO 2
KONDISI SERVICE STATION
INFLATABLE LIFERAFT (ILR) DI INDONESIA
LATAR BELAKANG
INFLATABLE LIFERAFT (ILR) DI INDONESIA
LATAR BELAKANG
keselamatan adalah indikator utama untuk mengukur keberhasilan transportasi. Berdasarkan data yang dilansir KNKT, diketahui bahwa dalam 1 bulan, di perairan Indonesia terjadi rata-rata 3 – 4 kali kecelakaan kapal laut.
REKAP DATA
JUMLAH
Jumlah kecelakaan yang tercatat di data base 2008
44
Satus Investigasi
Diinvestigasi penuh KNKT
4
Diinvestigasi Ditjen Perhubungan Laut
40
Jumlah kapal yang terlibat berdasarkan jenis kapal
Kapal Cargo
9
Kapal Cargo Penumpang
Kapal Container
1
Kapal Curah
-
Kapal Ikan
4
Kapal Layar Motor
4
Kapal Motor Kayu
15
Kapal Negara
Kapal Penumpang
-
Kapal Perang
Kapal Ro Ro Penumpang
3
Kapal Tanker
6
Kapal Supply
-
LCT
1
Speed Boat
1
Tongkang
1
Tug Boat
Yacht -
Jumlah
45
Jumlah kapal yang terlibat berdasarkan Bendera kapal
Indonesia
43
Asing
2
Jenis kecelakaan
Bocor
1
Hanyut
1
Kandas
7
Kerusakan Konstruksi -
7
Kerusakan Mesin
6
Meledak -
Menabrak Dermaga -
Menabrak Tiang Jembatan -
Miring -
Orang Jatuh ke Laut
1
Tenggelam
18
Terbakar
9
Terbalik -
Tubrukan
1
Jumlah
44
Kategori Kecelakaan
Very Serious Casualty
22
Serious Casualty
17
less serious casualty
5
Kerugian
Korban Jiwa
Cedera Fatal/Meninggal/Hilang
32
Cedera Serius
1
Cedera Berat
12
Cedera Ringan/Selamat
68
Pertanyaan yang mucul tentunya adalah mengapa pada pemberitaan di media massa, setiap kali terjadi kecelakan kapal laut, rakit penolong atau Inflatable Liferaft justru lebih banyak tidak terpakai. Padahal rakit penolong adalah salah satu alat pertahanan jiwa terakhir manakala terjadinya kecelakaan di laut. Tentunya harus dilakukan analisa terhadap segala hal yang terkait terhadap permasalahan ini
- KEBIJAKAN MAKER to MAKER Istilah kebijakan maker to maker dalam service dan perawatan liferaft adalah; Setiap teknisi dalam perusahaan service liferaft hanya boleh melakukan service dan perawatan suatu merk inflatable liferaft berdasarkan sertifikat training yang dimiliki dan yang dikeluarkan oleh manufacture terkait.
Ketentuan tersebut berpedoman pada regulasi IMO Resolution A.761 (18) tahun 1993, sebagai berikut:
“Pekerjaan service dan perbaikan yang seharusnya hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang terlatih dan mempunyai sertifikat yang akan diterbitkan oleh perusahaan pembuat liferaft yang bersangkutan. Prosedur pelatihan harus meyakinkan bahwa personel yang mengikuti pelatihan diharapkan dapat menguasai setiap perubahan dan teknik-teknik perbaikan yang terbaru.”
Kemudian ditegaskan lagi berdasarkan surat Kepala BTKP kepada para ADPEL dan KAKANPEL, nomor : KWT.01/03/BTKP.07 tanggal 21 Maret 2007:
“…Terhitung tanggal 21 Maret 2007 teknisi ILR service station hanya boleh melakukan perawatan ILR sesuai dengan sertifikat yang dikeluarkan pihak manufacture.”
Diterbitkannya regulasi tersebut tentunya mengacu pada berbagai studi kasus dilapangan sebagai antisipasi dan corrective action atas gagal berfungsinya alat pertahanan jiwa tersebut secara maksimal. Selain itu dapat di cermati juga bahwa:
- Setiap manufacture produsen merk Inflatable Liferaft memilki karakteristik bahan produk liferaft yang berbeda.
- Setiap manufacture produsen merk Inflatable Liferaft memiliki prosedur perawatan dan perbailkan yang berbeda.
- Setiap manufacture produsen merk Inflatable Liferaft mensyaratkan jenis spareparts dan elemen emergency pack yang berbeda.
- Setiap manufacture produsen merk Inflatable Liferaft mensyaratkan masa penggantian spareparts dan elemen emergency pack yang berbeda.
- Setiap manufacture produsen merk Inflatable Liferaft memiliki system control dan revisi tindakan service terhadap produk-produk mereka.
Pentingnya hal diatas juga ditegaskan dalam regulasi IMO Resolution A.761 (18) tahun 1993, sebagai berikut :
Hal-hal yang harus diberikan oleh perusahaan pembuat liferaft dalam kaitannya dengan penyelenggara service liferaft :
Hal-hal yang harus diberikan oleh perusahaan pembuat liferaft dalam kaitannya dengan penyelenggara service liferaft :
Perubahan-perubahan dari cara-cara service secara manual, bulletin service, instruksi-instruksi.
Bahan baku dan suku cadang perbaikan yang memadai
Buletin dan instruksi-instruksi dari administration
Pelatihan untuk teknisi-teknisi
Dari analisa di atas maka dapat dipahami mengapa kebijakan maker to maker adalah hal yang sangat serius bagi pemenuhan unsur safety di kapal laut.
Oleh karena itu, wajar jika pada pemberitaan kasus kecelakaan kapal laut, banyak inflatable liferaft (ILR) yang tidak berfungsi/mengembang dengan baik lantaran di service oleh teknisi yang memiliki sertifikasi keahlian berbeda, terlebih banyak kasus dimana inflatable liferaft justru diservice oleh teknisi yang sama sekali tidak memiliki sertifikat keahlian dari manufacture.
Kemudahan mendapatkan ijin kewenangan sebagai service station untuk Inflatable liferaft.
Banyak service station yang beroperasi belum memiliki workshop yang memadai, baik sarana maupun pra sarana untuk melakukan service atau bahkan belum mempunyai workshop.
Tidak tersedianya dasar regulasi perihal ketentuan standar kelayakan workshop (pemenuhan syarat sarana dan pra sarana) secara detail dan transparan. Sesungguhnya perihal ini dapat mengacu pada ketentuan IMO A 761 (18).
Banyak teknisi yang bekerja pada service station ILR tidak mendapatkan training dari manufactur ILR sebagaimana yang diisyaratkan dalam ketentuan IMO A 761 (18)
Ketidaktersediaan Spare part sesuai dengan ketentuan manufacture dikarenakan bukan sebagai authorize service station dari suatu manufacture. Dampaknya adalah penggunaan spareparts palsu atau penggunaan spareparts yang tidak sesuai dengan jenis dan karakteristik liferaft.
Dalam pemenuhan syarat administratif seringkali ditemukan kasus-kasus dimana suatu perusahaan mengajukan ijin kewenangan baru atau mengajukan perpanjangan ijin kewenangan sebagai service station inflatable liferaft dengan cara yang tidak benar, yaitu :
Penggunaan Sertifikat training dari perusahaan service station lain. Sebagai contoh : Perusahaan A mengajukan permohonan ijin kewenangan baru atau perpanjangan ijin kewenangan. Padahal sertifikat tersebut dikeluarkan oleh manufacture untuk teknisi yang terdaftar di perusahaan B. Ini akan menjadi masalah saat terjadi komplain dari owner ship ataupun pada saat adanya penyidikan suatu peristiwa kecelakaan kapal laut karena yang akan dimintai pertanggungjawaban adalah perusahaan B.
Bahan baku dan suku cadang perbaikan yang memadai
Buletin dan instruksi-instruksi dari administration
Pelatihan untuk teknisi-teknisi
Dari analisa di atas maka dapat dipahami mengapa kebijakan maker to maker adalah hal yang sangat serius bagi pemenuhan unsur safety di kapal laut.
Oleh karena itu, wajar jika pada pemberitaan kasus kecelakaan kapal laut, banyak inflatable liferaft (ILR) yang tidak berfungsi/mengembang dengan baik lantaran di service oleh teknisi yang memiliki sertifikasi keahlian berbeda, terlebih banyak kasus dimana inflatable liferaft justru diservice oleh teknisi yang sama sekali tidak memiliki sertifikat keahlian dari manufacture.
Kemudahan mendapatkan ijin kewenangan sebagai service station untuk Inflatable liferaft.
Banyak service station yang beroperasi belum memiliki workshop yang memadai, baik sarana maupun pra sarana untuk melakukan service atau bahkan belum mempunyai workshop.
Tidak tersedianya dasar regulasi perihal ketentuan standar kelayakan workshop (pemenuhan syarat sarana dan pra sarana) secara detail dan transparan. Sesungguhnya perihal ini dapat mengacu pada ketentuan IMO A 761 (18).
Banyak teknisi yang bekerja pada service station ILR tidak mendapatkan training dari manufactur ILR sebagaimana yang diisyaratkan dalam ketentuan IMO A 761 (18)
Ketidaktersediaan Spare part sesuai dengan ketentuan manufacture dikarenakan bukan sebagai authorize service station dari suatu manufacture. Dampaknya adalah penggunaan spareparts palsu atau penggunaan spareparts yang tidak sesuai dengan jenis dan karakteristik liferaft.
Dalam pemenuhan syarat administratif seringkali ditemukan kasus-kasus dimana suatu perusahaan mengajukan ijin kewenangan baru atau mengajukan perpanjangan ijin kewenangan sebagai service station inflatable liferaft dengan cara yang tidak benar, yaitu :
Penggunaan Sertifikat training dari perusahaan service station lain. Sebagai contoh : Perusahaan A mengajukan permohonan ijin kewenangan baru atau perpanjangan ijin kewenangan. Padahal sertifikat tersebut dikeluarkan oleh manufacture untuk teknisi yang terdaftar di perusahaan B. Ini akan menjadi masalah saat terjadi komplain dari owner ship ataupun pada saat adanya penyidikan suatu peristiwa kecelakaan kapal laut karena yang akan dimintai pertanggungjawaban adalah perusahaan B.
Penggunaan foto copy sertifikat training tanpa dilakukannya pengecekan dari sertifikat asli atau pengecekan kepada pihak manufacture yang mengeluarkan sertifikat.
Penggunaan sertifikat training yang sudah habis masa berlakunya (kadaluarsa).
Penggunaan sertifikat training yang diterbitkan atau diadakan oleh penyelenggara training yang tidak diakui oleh manufacture. Terkait dengan hal ini terjadi beberapa kasus, baik di Jakarta maupun di Batam, dimana diadakannya suatu training tanpa ijin atau tanpa melibatkan pihak manufacture. Lebih jauh lagi, suatu kejadian dimana training perawatan inflatable liferaft diadakan di Hotel dan waktu pelaksanaanya kurang dari 6 hari untuk lebih dari 8 merk liferaft. Padahal biasanya training di adakan di lokasi yang memadai peralatannya dan durasi waktu training untuk 1 merk liferat paling singkat adalah 2 hari. Maka dapat di bayangkan bagaimana kualitas hasil training tersebut. Padahal ideal nya tujuan dilakukannya training adalah untuk pekerjaan yang menyangkut keselamatan jiwa manusia.
Penggunaan sertifikat training yang sudah habis masa berlakunya (kadaluarsa).
Penggunaan sertifikat training yang diterbitkan atau diadakan oleh penyelenggara training yang tidak diakui oleh manufacture. Terkait dengan hal ini terjadi beberapa kasus, baik di Jakarta maupun di Batam, dimana diadakannya suatu training tanpa ijin atau tanpa melibatkan pihak manufacture. Lebih jauh lagi, suatu kejadian dimana training perawatan inflatable liferaft diadakan di Hotel dan waktu pelaksanaanya kurang dari 6 hari untuk lebih dari 8 merk liferaft. Padahal biasanya training di adakan di lokasi yang memadai peralatannya dan durasi waktu training untuk 1 merk liferat paling singkat adalah 2 hari. Maka dapat di bayangkan bagaimana kualitas hasil training tersebut. Padahal ideal nya tujuan dilakukannya training adalah untuk pekerjaan yang menyangkut keselamatan jiwa manusia.
Adanya perbedaan regulasi yang potensial menimbulkan multi penafsiran.
Keadaan ini sudah pasti akan menimbulkan kekaburan pemenuhan standar keselamatan dan kepastian hukum bagi syarat kelayakan dalam pemenuhan unsur laik lautnya suatu kapal sebagaimana disyaratkan dalam Bab IX tentang Kelaiklautan Kapal, UU nomor 17 tahun 2008. Padahal, apabila syarat-syarat sebagaimana di atur dalam UU nomor 17 tahun 2008 tidak dipenuhi maka dapat mengakibatkan dijatuhinya sanksi Pidana, Denda, maupun pencabutan ijin operasional.
Keadaan ini sudah pasti akan menimbulkan kekaburan pemenuhan standar keselamatan dan kepastian hukum bagi syarat kelayakan dalam pemenuhan unsur laik lautnya suatu kapal sebagaimana disyaratkan dalam Bab IX tentang Kelaiklautan Kapal, UU nomor 17 tahun 2008. Padahal, apabila syarat-syarat sebagaimana di atur dalam UU nomor 17 tahun 2008 tidak dipenuhi maka dapat mengakibatkan dijatuhinya sanksi Pidana, Denda, maupun pencabutan ijin operasional.
Terkait dengan penggantian spareparts, dalam regulasi IMO Resolution A.761 (18) tahun 1993 dinyatakan bahwa :
"Atau dengan kata lain bahwa ada dispensasi waktu tidak kurang dari 6 bulan terhadap masa expire date spareparts pada saat masa service tahun berikutnya.
Terkait dengan pyrotechnic sebagai bagian dari spareparts liferaft yang disyaratkan adanya penggantian secara periodic, masalahnya adalah :
Regulasi IMO tersebut di atas menerapkan masa berlaku tidak kurang dari 6 bulan terhadap masa expire date spareparts pada saat masa service tahun berikutnya.
Pihak Class menerapkan ketentuan masa batas berlakunya spareparts berdasarkan flagt dari masing-masing Negara dimana kapal tersebut terdaftar.
Pihak syahbandar ada yang menerapkan batas masa berlaku spareparts 6 bulan dan 12 bulan dari masa expire date.
"Atau dengan kata lain bahwa ada dispensasi waktu tidak kurang dari 6 bulan terhadap masa expire date spareparts pada saat masa service tahun berikutnya.
Terkait dengan pyrotechnic sebagai bagian dari spareparts liferaft yang disyaratkan adanya penggantian secara periodic, masalahnya adalah :
Regulasi IMO tersebut di atas menerapkan masa berlaku tidak kurang dari 6 bulan terhadap masa expire date spareparts pada saat masa service tahun berikutnya.
Pihak Class menerapkan ketentuan masa batas berlakunya spareparts berdasarkan flagt dari masing-masing Negara dimana kapal tersebut terdaftar.
Pihak syahbandar ada yang menerapkan batas masa berlaku spareparts 6 bulan dan 12 bulan dari masa expire date.
Sedangkan Pihak manufacture ada yang menerapkan dispensasi masa berlaku 6 bulan dari masa expire date pyro (DSB, RFD, RFD Toyo), dan ada yang menerapkan masa 12 bulan harus dilakukan penggantian (Viking, Zodiac, dll).
Sehubungan dengan permasalah di atas, akan lebih baik jika pihak BTKP membuat ketentuan standar agar tidak terjadi kerancuan di lapangan.
Sehubungan dengan permasalah di atas, akan lebih baik jika pihak BTKP membuat ketentuan standar agar tidak terjadi kerancuan di lapangan.
Saran dari kami, pembuatan peraturan dilakukan dengan berpedoman pada azas hukum: Lex spesialis derogate legi generalis (hukum yang spesial mengungguli hukum yang umum). Artinya, bahwa regulasi terkait dengan penggantian harus mengacu pada ketentuan dari manufacture selaku pihak yang membuat dan tentunya lebih mengatahui segala hal terkait dengan produknya. Sedangkan hal-hal yang tidak diatur dalam manual book dari manufacture masing-masing merk liferaft, harus mengikuti regulasi dalam SOLAS – IMO.
Beredarnya Pyrotechnic Palsu atau Afkir
Pyrotechnic sebagai spareparts yang harus ada pada setiap sekoci penyelamat (kecuali liferaft tipe B pack), rata-rata memiliki masa usia pakai 3 tahun. Namun di lapangan, usia pakai tersebut terkurangi oleh lamanya proses distribusi dan pengiriman, baik dari manufacture ke agen, distributor, distributor ke agen, agen ke service station, dan dari service station ke pihak owner ships. Sebagai gambaran bahwa pyrotechnic adalah jenis dangerous good yang pengangkutannya tidak boleh menggunakan kapal udara, sehingga membutuhkan waktu pengiriman yang lebih lama mulai dari manufacture hingga dapat di pakai oleh pihak owner ships. Seluruh tahapan proses itu membutuhkan waktu yang tentunya akan mengurangi masa pakai pyrotechnic.
Pyrotechnic digunakan untuk memberikan tanda meminta pertolongan pada saat terjadi musibah di tengah laut. Komposisi kimia di dalam pyrotechnic sesungguhnya rentan terhadap udara. Namun untuk menjamin agar tetap berfungsi maka regulasi SOLAS-IMO dan Manufacture liferaft mensyaratkan agar setiap tahun dilakukan penggantian. Dan itupun masih diberikan dispensasi bahwa pyro masih boleh dipakai asalkan kurang dari 6 bulan dari masa expire datenya (IMO Resolution A.761 (18) tahun 1993).
Masalahnya adalah, hingga saat ini tidak ada regulasi yang mengatur perihal penanganan terhadap pyrotechnic yang sudah afkir, sehingga menyebabkan ramainya peredaran pyro palsu atau pyro yang dirubah masa expired date nya.
Padahal dalam Solas 1974 sudah ditegaskan bahwa :
“The main objective of the SOLAS Convention is to specify minimum standards for the construction, equipment and operation ships, compatible with their safety. Flag States are responsible for ensuring that ships under their flag comply with its requirements, and a number of certificates are prescribed in the Convention as proof that this has been done”.
“The main objective of the SOLAS Convention is to specify minimum standards for the construction, equipment and operation ships, compatible with their safety. Flag States are responsible for ensuring that ships under their flag comply with its requirements, and a number of certificates are prescribed in the Convention as proof that this has been done”.
Maraknya peredaran pyrotechnic palsu biasanya dengan cara sebagai berikut :
- Service station melakukan service sekoci karet dan penggantian pyrotechnic.
Pyrotechnic yang diganti (afkir) dikembalikan kepada costumer (pihak owner ships).
Oknum dari pihak ownership menjual pyrotechnic tersebut ke pasar gelap (penadah barang pyro afkir). - Penadah mengganti stiker atau label atau tanggal masa expire date.
- Pyrotechnic yang sudah diubah kemudian dijual kepada oknum service station dengan harga lebih murah dari aslinya.
- Kemudian alurnya kembali ke nomer 1 di awal.
Sehingga tidak heran jika pyrotechnic “aspal” tersebut dapat dipakai berulang-ulang kali. Tentunya yang diuntungkan adalah pihak oknum service station dan oknum owner ships.
Mereka sama-sama mengambil keuntungan dari penjualan barang bekas dan murahnya biaya penggantian, dengan menafikkan kselamatan jiwa orang lain. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi korban musibah di laut pada saat membutuhkan Pyrotechnics untuk memberi tanda minta pertolongan sedangkan alat yang ada ternyata tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Kondisi seperti ini sangat potensial mengakibatkan orientasi pemenuhan unsur keselamatan kapal berbalik menjadi sekedar pemenuhan persyaratan administratif semata agar kapal laut tetap bisa berlayar. Oleh karena itu, dibutuhkan pengaturan dan pengawasan tegas dari pemerintah.
Rekomendasi yang di ajukan terhadap permasalahan ini adalah:
- Service station membuat berita acara mengenai jumlah penggantian pyrotechnic yang sudah afkir.
- Pyrotechnic afkir tidak boleh di kembalikan kepada costumer.
- Dilakukan pemusnahan atau perusakan agar tidak dapat dipalsu atau dijual kembali.
Perusakan dapat dilakukan dengan cara dipotong menggunakan gergaji mesin/listrik dengan di rendam air sebelumnya. - Service station melaporkan kepada petugas kesyahbandaran yang ditunjuk perihal pemusnahan/perusakan pyrotechnic afkir dan menunjukkan bukti fisik dan berita acara pemusnahan.
- Service station menempatkan pyro yang sudah di rusak di tempat pembuangan limbah khusus atau tempat pemusnahan limbah pyrotechnic.
Dengan metode seperti itu diharapkan dapat mengurangi secara signifikan peredaran pyrotechnic “aspal”. Diharapkan juga nantinya tidak hanya barang pyrotechnic yang harus dimusnahkan, tetapi juga spareparts lainnya termasuk emergency pack yang ada di setiap sekoci penolong. Karena tentunya juga akan sangat berbahaya jika air atau minuman darurat yang ada di dalam sekoci penolong ternyata digunakan berulang-ulang kali.
Terkait dengan hal di atas, perlu di pertimbangkan bahwa :
- Pemerintah dapat segera menerbitkan ketentuan pemusnahan/perusakan pyrotechnic.Dalam ketentuan tersebut harus di atur juga siapa yang bertugas sebagai pengawas dilapangan dan secara administratif yang mewakili pemerintah.
Alat seperti apa yang digunakan untuk pemusnahan dan apakah untuk pembuangan/pemusnahan/penyimpanan limbah pyrotechnic harus menggunakan suatu alat atau media khusus. - Siapakah yang memfasilitasi alat pembuangan limbah tersebut, apakah pemerintah ataukah service station yang dianggap berkompeten untuk melakukan pengadaan alat atau media pemusnahan limbah pyrotechnic.
- Bagaimana pembiayaan pemusnahan dan pembuangan limbah pyrotechnic, apakah dibebankan langsung kepada owner ship selaku konsumen jasa service(?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar